PERAMPOK2 DI JALAN TUHAN

Para perampok di Jalan Tuhan

Oleh JALALUDDIN RAKHMAT

“Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a
Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because
his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it
seems to me that he doesn’t know what he’s talking about”—Voltaire,
Philosophical Dictionary.

“Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam
mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam
lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus.
Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku
pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan
mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara
Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar
bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,”
Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai
tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian
tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal.
Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan
pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh
alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu
makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-
manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan
ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil
melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami “trans”. Ia
bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan
para nabi.

Makin “dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada
sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia
mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang
dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai
kehormatannya. Ia sudah menjadi `sujet’ di hadapan juru hipnotis.
Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah
satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul “Saints and Madmen”
menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi
orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan
mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh
dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada
yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan
seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh
kebanyakan masyarakat. Ia ingin `getting connected’ dengan Yang
Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin
meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan
cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak
mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan
pengalaman rohaniah yang “instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan
logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan
percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan
keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik
dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri
cinta, akal digantung”.

Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk
memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-
teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya
melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam “The Brother of Karamazov”:
Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan
melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah
mukjizat, misteri, dan otoritas. Tentu saja hampir tidak ada di
antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan
delusi. Guru menciptakannya dengan “merusak” otak pengikutnya melalui
ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan
paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation),
apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam
keadaan normal, otak kita mensintesiskan “pil tidur alamiah”
sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur
pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu
berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu
timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan
depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat
cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi
pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur,
guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti
latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau
penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami
pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain
damage).

Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke
alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru
pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan
bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan
bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid
tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata
Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas,
bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan
Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan
disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-
Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-
luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan
dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam
satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia
menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia
berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya
kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua
hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme
urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu,
ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku
menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia
bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya
tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah
tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang
paling “sufi”. Aku jawab,” Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar
dikuburkan hidup-hidup”. Howell mendesak bagaimana caranya membedakan
gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan
Tuhan. “Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, “apabila Anda
menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks,
Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang
membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman
rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk
menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda
merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya
bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda
sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”.

Cari

Postingan Terakhir

Ikuti Rachmat