Siapa yang tidak kenal dengan nama Imam Ghazali. Tokoh yang bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Hujjah al-Islam Abu Hamid Al-Ghazali Al-Syafi’i[2] ini telah berhasil memberikan warna-warni indah dalam khazanah Islam. Beliau tidak hanya dikenal sebagai tokoh tasawuf, tapi juga masyhur sebagai tokoh filsafat, teologi dan fikih. Sehingga tidak berlebihan jika beliau mendapat gelarThe Proof of Islam (hujjah al-islam), The Ornament of Faith (Zain ad-din) dan The Renewer of Religion (mujaddid) abad lima, karena kontribusinya yang sangat luar biasa.
Beliau lahir di kota Thus wilayah Khurasan pada tahun 450 H/1059 M dari keluarga yang shalih[3]. Beliau memiliki seorang adik bernama Ahmad. Ayah beliau bekerja sebagai pengrajin kain shuf (yang terbuat dari bulu domba) dan menjualnya di kota Thus. Beliau sering sowan kepada para ulama dan mengikuti majelis ilmu. Jika mendengarkan perkataan para ahli fikih beliau menangis dan berdoa memohon agar anaknya bisa menjadi seorang fakih. Dan bila menghadiri majelis nasehat beliau juga menangis dan berdoa agar anaknya bisa menjadi orang bijak yamg mampu menghiasi dunia dengan kearifan dan keindahan nasehatnya. Dan nampaknya Allah SWT telah mengabulkan doa beliau. Sehingga kedua anaknya berhasil menjadi ulama yang terkenal dan berjasa besar dalam dakwah Islam di kemudian hari.
Beliau dikenal dengan nama Al-Ghazzali (dengan tasydid) karena ayah beliau yang bekerja sebagai pengrajin kain wol. Sebagian pakar biografi yang lain berpendapat bahwa nama Al-Ghazali disandarkan pada sebuah desa yang bernama Ghazalah di daerah Thus. Namun para ulama mutaakhkhirin lebih memilih pendapat pertama[4].
- Perjalanan masa kecil dan menyelami lautan ilmu
Menjelang wafat, ayah Imam Ghazali berwasiat kepada salah seorang teman baiknya untuk merawat dan mendidik Imam Ghazali dan adiknya. Dalam wasiatnya ia berpesan, “Sungguh saya sangat menyesal tidak belajar ilmu khath (tulis menulisarab). Saya berharap kedua anak saya tidak mengalami seperti apa yang saya alami. Maka saya mohon agar engkau mau mengajari mereka berdua. Dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk mereka”[5].
Setelah ayahnya meninggal Imam Ghazali dan adiknya dididik dan diajari ilmu oleh orang yang mendapat wasiat tersebut. Dan ketika harta peninggalan ayah Imam Ghazali habis ia kebingungan dan berkata, “ Ketahuilah oleh kalian bahwa saya adalah orang yang fakir. Saya telah mendidik kalian dari harta kalian. Dan sekarang saya meminta maaf tidak bisa lagi mendidik kalian. Saya menganjurkan kalian untuk masuk madrasah sebagai penuntut ilmu. Agar kalian bisa mendapatkan makanan”.
Imam Ghazali belajar sejak masa kecil. Beliau mulai belajar ilmu fikih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Radzakani di kota Thus. Kemudian berangkat ke kota Jurjan untuk berguru kepada Imam Abu Nashr Al-Isma’ili. Setelah beberapa lama menggali ilmu di Jurjan Imam Ghazali melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke kota Naisabur untuk menggali ilmu kepada Imam Haramain Al-Juwaini dengan penuh kesungguhan. Dalam waktu yang relatif singkat beliau sudah menguasai dengan baik fikih Madzhab Syafi’i, fikih khilaf, ilmu perdebatan, manthiq, ushul, hikmah dan filsafat. Setelah Imam Haramain wafat Imam Ghozali pergi ke pemukiman Wazir Nizhomul Malik, tempat berkumpulnya para ulama dan diramaikannya majelis ilmu. Disana beliau berdebat dengan banyak ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nizhomul Malik mengangkat beliau sebagai pengajar di madrasahnya yang berada di kota Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah kesana. Maka pada tahun 484 H berangkatlah beliau ke Baghdad untuk mengajar di madrasah nizhomiyah hingga akhirnya berkembang dan terkenal menjadi seorang pakar ilmu agama[6].
- Akidah dan madzhab beliau
Dalam ranah fikih beliau bermadzhab Syafi’iyyah. Ini nampak jelas dalam karya-karya beliau seperti al-Wajiz, al-Basith dan al-Wasith yang sering kali dijadikan sebagai bahan rujukan bagi para pengikut madzhab Syafi’iyah.
Sementara dalam bidang akidah beliau adalah pengikut sekaligus benteng kokoh bagi madzhab Asy’ariyah. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan tasawuf dengan madzhab Asy’ariyah. Namun para ulama kebingungan memetakan aliran tasawuf apakah yang dipakai oleh Imam Ghazali. Karena beliau dinilai tidak konsisten memakai satu aliran tasawuf. Beliau juga sering membantah sesuatu kemudian malah beliau jadikan sebagai akidahnya. Bahkan Ibn Rusyd memberikan penilaian terhadap Imam Ghazali dengan mengatakan, “Imam Ghazali tidak konsisten dengan satu madzhab dalam karya-karyanya. Beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filusuf bersama filsafat”[7].
- Buah pena dan fikiran serta kontroversinya
Imam Ghazali tidak hanya seorang pemikir ulung, tapi juga seorang penulis yang sangat produktif menelurkan karya-karya monumental dalam berbagai fan dan ranah kajian. Diantara karya-karya beliau yang terkenal dalam fan ushuluddin dan akidah adalah sebagai berikut:
- Tahafut Al-Falasifah
- Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad
- Faishal At-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zanadiqah
Dalam fan fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan manthiq beliau juga memiliki buah pena yang sangat banyak sekali.Diantaranya sebagai berikut:
- Al-Mustashfa
- Mizan al-Amal
- Mi’yar al-‘Ilm
- Ma,arif al-‘Aqliyah
- Misykah al-Anwar
- Ar-Risalah al-Laduniyah
- Ihya ‘Ulum ad-din
Kitab yang terakhir disebut adalah kitab yang sangat terkenal dan menjadi bahan kajian di berbagai majelis ilmu. Banyak yang memuji tapi tidak sedikit pula yang mencaci. Hampir semua ulama besar di Indonesia menjadikan kitab ini sebagai referensi, meskipun banyak pula ulama yang bersikap antipati.
Abu Bakar Ath-Thurtusi berkata,”Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya dengan banyak kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Kemudian ia campur adukkan denganpemikiran-pemikiran filsafat dan isi kandungan rasail Ikhwan Ash-Shofa”. Imam Subki telah menemukan 943 hadits dalm kitab Ihya yang tidak diketahui sanadnya”[8].
- Pengaruh filsafat
Dengan berbagai kepakarannya dalam banyak fan, Imam Ghazali juga tidak luput dari kekurangan. Beliau tidak memiliki ilmu yang mumpuni dalam bidang atsar dan hadits Nabi, sehingga berakibat sangat fatal dalam karya-karyanya. Beliau bahkan sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran filsafat yang beliau pelajari dalam kitab-kitab karangan Ibn Sina dan Abu Hayan At-Tauhidi. Meski pada awalnya beliau membantah pemikiran-pemikiran filsafat namun dalam beberapa hal beliau memakainya.
Ibnu Taimiyah memberikan penilaiannya terhadap Imam Ghazali dengan mengatakan,”Abu Hamid condong kepada filsafat dan mengungkapkannya dengan ungkapan islami. Oleh karena itu banyak ulama Islam yang membantahnya. Hingga murid terdekatnya, Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi mengatakan,”guru kami (Imam Ghazali) masuk ke perut filsafat kemudian ingin keluar namun tidak mampu”[9].
- Polemik Kejiwaan dan akhir hayat
Setelah beberapa lama mengajar dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di madrasah Nizhomiyah beliau mengalami konflik batin. Hingga pada tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya. Satu tahun kemudian beliau pergi dan tinggal di Damaskus selama beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis dan kembali lagi ke Damaskus. Selama sepuluh tahun beliau banyak menghabiskan waktunya untuk beri’tikaf di menara barat masjid Damaskus dan menulis kitab ihya serta melatih jiwa[10].
Di masa-masa akhir hayatnya beliau kembali ke kota Thus, mendirikan madrasah di samping rumahnya, menghafal Qur’an, mengajar, beribadah dengan shalat dan puasa, tekun mempelajari Shahih Bukhari dan Muslim, kembali ke ajaran ahlus-sunnah wal-jama’ah, serta meninggalkan filsafat dan ilmu kalam sampai beliau menutup mata pada hari senin 14 jumadil akhir 505 H[11].
- Polesan Akhir
Apa yang telah diwariskan oleh Imam Ghazali hendaknya bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Alangkah pandirnya kita jika menyia-nyiakan begitu saja buah karya beliau yang tak ternilai harganya. Dan kita juga harus berusaha mencontoh semangat beliau yang terus membara hingga berpisah dari dunia. Karena walau bagaimanapun kesuksesan berbanding lurus dengan semangat dan kerja keras kita. Meski dalam beberapa hal kita tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran beliau namun tidak sepantasnya kita mencaci dan mencelanya. Dan akhirnya marilah kita semua berdoa agar senantiasa diberikan jalan terang menggapai ridho-Nya. Amien.
Dan sebagai penutup marilah kita resapi bersama satu bait dalam alfiyah Ibn Malik berikut ini,
وفى اتّحاد الرّتبة الزم فصلا # وقد يبيح الغيب فيه وصلا (67)
“ kerinduan tidak akan datang saat masih bersama. Namun ia akan menusuk jiwa saat jarak dan ruang telah jauh memisahkan kita”.
Wallah a’lam….
[2] ‘Abd Ar-Rahman Badawi, Muallafat al-Ghozali, Fahd Salim, Kuwait, Cet. 1977, hal. 21
[3] As-subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah, dar ihya kutub, jilid 6/193
[4]Mahmud Muhammad Ath-Thanaji, Tahqiq Thobaqot ays-Syafi’iyah, jilid 6/193-194
[5] As-Subki, Op. Cit, jilid 6/194
[6] Ibid, jilid 6/191-195
[7] Ibn Ruysd, Bughyah al-Murtad, hal.110
[8] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, jilid 19/334
[9] Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid 4/164
[10] Adz-dzahabi, Op. Cit, jilid 6/34
[11] As-Subki, Op. Cit, jilid 6/201