Mengendalikan marah menurut Islam


Marah adalah salah satu sifat buruk yang ada pada diri manusia. Di samping dapat merusak jiwa, marah juga dapat mengganggu kesehatan raga. Sudah banyak penelitian yang menguatkan adanya hubungan kebiasaan marah dengan gangguan jantung.

Seseorang yang sering marah atau marah sudah menjadi gaya hidupnya akan sangat rentan terkena gangguan pada jantung. Oleh karena itu, pantas jika banyak ayat Alquran dan hadis yang menyuruh mengendalikan amarah.

Menurut Alquran, kemampuan mengendalikan amarah (al- Kaazhimiin al-Ghaidh) merupakan salah satu ciri orang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134). Nabi Muhammad SAW beberapa kali dimintai nasihat oleh seorang laki-laki. Beberapa kali juga beliau menjawab, “Janganlah engkau marah” (HR Bukhari).

Kekuatan seseorang, menurut Rasulullah SAW, tidak diukur dari kekuatan fisiknya, tapi lebih karena kemampuannya mengendalikan amarah. Sebagaimana sabdanya, “Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, melainkan orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah (HR Bukhari dan Muslim).

Nabi SAW juga tidak hanya menyuruh mengendalikan amarah, tetapi juga memberi motivasi (targhib) bagi orang yang dapat melakukannya. Menurut Rasulullah SAW, jika seseorang mampu mengendalikan amarahnya, maka ia akan terhindar dari siksa Allah SWT dan pada gilirannya akan dimasukkan ke surga-Nya. Hal tersebut dikuatkan oleh hadis, “… Barang siapa yang mampu menahan amarahnya, Allah akan menahan siksa- Nya” (HR ath-Thabrani). “Kendalikanlah marah, maka kamu akan masuk surga” (HR ath-Thabrani).

Mengendalikan marah artinya mengelola potensi marah sehingga berubah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Prosesnya mirip dengan imunisasi. Potensi marah ibarat vaksin (virus yang dilemahkan). Ketika vaksin disuntikkan, tubuh tidak menghindar, tapi justru melawan dengan antibodinya sehingga menjadi kebal. Sehingga, ketika suatu saat tubuh terinfeksi oleh virus sejenis, ia tidak akan terpengaruh oleh bahaya virus tersebut karena sudah kebal.

Demikian juga dengan mengendalikan amarah. Potensi marah tidak dihindari, tapi dikelola melalui berpikir positif. Marah tidak dilampiaskan, tetapi ditahan. Upaya ini akan menghasilkan kekebalan jiwa terhadap potensi marah. Sehingga, jika sekali waktu potensi marah sejenis hadir, maka tidak akan membangkitkan marah, bahkan mungkin akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ini artinya penyakit marah sembuh.

Model mengatasi marah di atas berbeda dengan cara kebanyakan ilmuwan Barat dalam mengatasi keadaan marah. Sigmund Freud, seorang psikoanalisis, mengatakan bahwa kemarahan tidak boleh ditahan, tapi harus disalurkan. Menurutnya, emosi (kemarahan) yang tertahan dapat menyebabkan ledakan emosi berlebihan. Maka dari itu, diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan (katarsis).

Berdasarkan pengalaman, cara mengatasi marah seperti itu tidak mengobatinya, tapi hanya menurunkannya untuk sementara. Artinya, ketika kemarahan disalurkan, tensinya akan turun, bahkan akan hilang. Namun, jika satu saat sumber kemarahan itu ada lagi, kemarahan pun akan bangkit kembali. Wallahu a’lam.

Terapi Dari Pemarah jadi Peramah


Tips Sabar Dan Mengendalikan Kemarahan 

Dari sebuah tulisan Ajahn Brahm, dikatakan bahwa: Semakin sering kita melampiaskan nafsu dan amarah, semakin besar kecenderungan batin untuk mengulanginya.

Begitupula, semakin sering kita melatih atau mengembangkan sati (perhatian murni/ kewaspadaan), cinta kasih, kesabaran, pengendalian diri, konsentrasi, usaha benar, perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan jasmani, dan semua kualitas batin yan baik lainnya; maka semakin besar pula kecenderungan batin untuk mengulanginya tanpa disengaja alias alami. Tampaknya, akumulasi kebiasaan bisa membentuk karakter dan karakter menentukan kebahagiaan dan masa depan.

Ada beberapa tips untuk mengendalikan kemarahan:

1. Bangun KOMUNIKASI bukan kemarahan.

Tegas tapi bukan kebencian. Berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan cara yang bijak, taktis dan cerdik.
Contoh: Saat menghadapi kriminal/ penjahat yang mengancam keselamatan dan tidak bisa diajak kompromi, kita boleh membentaknya untuk menakuti atau menghalau mereka, tanpa kebencian. Kalau terpaksa “melumpuhkannya”, hanya sekedar “melumpuhkannya” tanpa kebencian atau niat jahat.

2. Kembangkan SATI (perhatian/kewaspadaan), perenungan Dhamma, atau WELAS ASIH setiap saat.

Mengembangkan SATI, melaksanakan Vipassana Bhavana, penuh kesadaran terhadap gerak-gerik jasmani dan batin (perasaan & pikiran) yang timbul lenyap dan berubah-ubah seenaknya, tidak memuaskan, tidak bisa diandalkan, bukan diri, bukan kita, bukan milik kita; semata fenomena dengan sifat, prilaku dan kondisi penunjangnya sendiri yang khas dan alami (anicca, dukkha, anatta).

3. MEMAKLUMI

bahwa kita dan para makhluk pada umumnya masih diliputi kegelapan batin AVIJJA dlm bentuk LOBHA (keserakahan, kehausan), DOSA (kebencian) dan MOHA (ketidaktahuan, kelengahan). Juga dengan mengingat bahwa sesungguhnya semua makhluk diliputi penderitaan,anicca, dukkha dan anatta; diharapkan kita bisa menumbuhkan welas asih, rasa MAHA MAKLUM dan pengampunan atas “keanehan, ke-tidakmasukakal-an” yang ada pada mereka.

4. Mengingat BUDI BAIK atau kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan orang yang sedang membuat kita marah.

5. Mengingat AKIBAT BURUK dari kemarahan, baik pada diri sendiri, orang yg kita cintai, bahkan juga musuh kita. (Akibat buruk di masa sekarang maupun yang menanti di masa depan)

6. YONISO MANASIKARA

mengarahkan pikiran pada hal-hal yang bermanfaat dan positif, tidak memberi perhatian atau mengingat hal-hal yang menimbulkan kemarahan, merenungkan Tilakkhana, Berkah Utama dan 8 Kondisi Duniawi (Note: Sabar dan memiliki batin yang tak mudah tergoncangkan oleh suka duka, untung rugi, dipuji dicela, terkenal tak terkenal termasuk berkah utama)

7. Diam/berkata dg intonasi yang lembut, dan memancarkan metta karuna, dapat meredakan kemarahan seseorang.

Setidaknya bertahan untuk diam, menunda mengambil keputusan yang “gegabah” saat sedang marah, membuat kita tidak menyesal kemudian.

8. Merenungkan sifat mulia Buddha, Dhamma, Sangha seperti kebijaksanaan sempurna, welas asih, kesabaran dan pengampunan tanpa batas, kebajikan dan kelurusan atau kemurnian tanpa cela, dsb.

9. Merenungkan bahwa diri sendiri dan setiap makhluk adalah pewaris karmanya masing-masing.

Laksana orang yang baru sembuh dari penyakit menahun atau yang baru terbebas dari hutang setelah sekian lama, kemudian dia bersorak, bersyukur, merasa gembira, lega, bersemangat untuk melakukan hal-hal bermanfaat yang selama ini ingin ia kerjakan, bersemangat untuk memulai kembali segalanya dengan cara yg lebih cerdik, bijak, dan waspada; begitulah hendaknya kita bersikap saat menghadapi akibat karma buruk yang tengah berbuah*.

10. Merenungkan bahwa setiap makhluk suatu hari pasti akan mati.

11. Bergaul dengan para bijaksana, gemar belajar dan mencintai Dhamma.

12. Melatih ANAPANASATI (untuk melatih kekuatan kewaspadaan/ sati dan konsentrasi/ samadhi) dan/ atau metta bhavana.

Dalam Kayagatasati Sutta dikatakan bahwa melakukan perenungan terhadap badan jasmani (termasuk bermeditasi ANAPANASATI) bila dikembangkan akan menghasilkan banyak buah, diantaranya mampu sabar menahan kata-kata kasar.

Seandainya suatu hari kita terlanjur marah, jangan kecil hati dan jangan gelisah karena itu. Karena yang pasti kita sudah lebih baik dari hari-hari kemarin. Berbahagialah. Yang penting minta maaf dan bertekad tidak mengulangi perbuatan tersebut, serta hendaknya kita tetap mempertahankan ketenangan batin & konsentrasi, serta mengembangkan WELAS ASIH untuk tetap… MAJU TERUS… memanfaatkan setiap momen dengan mengasihi, berbagi, berkarya dan berlatih.

PERAMPOK2 DI JALAN TUHAN


Para perampok di Jalan Tuhan

Oleh JALALUDDIN RAKHMAT

“Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a
Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because
his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it
seems to me that he doesn’t know what he’s talking about”—Voltaire,
Philosophical Dictionary.

“Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam
mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam
lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus.
Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku
pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan
mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara
Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar
bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,”
Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai
tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian
tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal.
Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan
pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh
alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu
makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-
manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan
ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil
melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami “trans”. Ia
bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan
para nabi.

Makin “dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada
sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia
mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang
dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai
kehormatannya. Ia sudah menjadi `sujet’ di hadapan juru hipnotis.
Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah
satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul “Saints and Madmen”
menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi
orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan
mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh
dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada
yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan
seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh
kebanyakan masyarakat. Ia ingin `getting connected’ dengan Yang
Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin
meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan
cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak
mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan
pengalaman rohaniah yang “instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan
logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan
percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan
keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik
dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri
cinta, akal digantung”.

Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk
memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-
teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya
melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam “The Brother of Karamazov”:
Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan
melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah
mukjizat, misteri, dan otoritas. Tentu saja hampir tidak ada di
antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan
delusi. Guru menciptakannya dengan “merusak” otak pengikutnya melalui
ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan
paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation),
apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam
keadaan normal, otak kita mensintesiskan “pil tidur alamiah”
sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur
pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu
berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu
timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan
depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat
cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi
pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur,
guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti
latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau
penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami
pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain
damage).

Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke
alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru
pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan
bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan
bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid
tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata
Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas,
bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan
Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan
disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-
Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-
luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan
dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam
satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia
menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia
berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya
kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua
hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme
urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu,
ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku
menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia
bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya
tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah
tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang
paling “sufi”. Aku jawab,” Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar
dikuburkan hidup-hidup”. Howell mendesak bagaimana caranya membedakan
gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan
Tuhan. “Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, “apabila Anda
menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks,
Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang
membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman
rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk
menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda
merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya
bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda
sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”.